KRICOM - Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menuding Joko Widodo (Jokowi) sebagai biang kerok dibalik menurunnya kesejahteraan kaum buruh.
Jika kondisi ini terus terjadi, bukan tidak mungkin kalau nasib pekerja di tahun 2018 semakin miskin lantaran tak mendapat kesejahteraan.
''Indikatornya adalah turunnya daya beli akibat kebijakan upah murah melalui PP 78/2015," kata Said kepada wartawan di Jakarta, Senin (1/1/2018).
Jokowi sendiri pada tanggal 23 Oktober 2015 telah menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
Dalam PP itu disebutkan, bahwa kebijakan pengupahan diarahkan untuk pencapaian penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi Pekerja/Buruh.
Penghasilan yang layak sebagaimana dimaksud merupakan jumlah penerimaan atau pendapatan Pekerja/Buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup Pekerja/Buruh dan keluarganya secara wajar.
Menurt Said, PP 78/2015 merupakan bagian dari paket ekonomi Jokowi - JK yang memanjakan para investor.
"Kenyataannya, sepanjang 2015 Pemerintah lebih memilih menggenjot pembangunan infrastruktur ketimbang mensejahterakan kaum buruh," tambah dia.
Hal ini merupakan fakta, bahwa kebijakan ekonomi tidak bisa mengangkat daya beli, tetapi hanya membuka ruang kemudahan untuk berinvestasi. Tidak diiringi dengan kebijakan peningkatan daya beli.
"Maka yang terjadi adalah penurunan konsumsi, itulah yang menyebankan terjadinya PHK besar-besaran pada sektor ritel,” ungkap Said.
Menurut Said, yang ironis, tenaga kerja asing (TKA) unskill diprediksi akan merajalela di tahun 2018 mendatang.
"Disaat daya beli turun, gelombang PHK terjadi dimana-mana, TKA seperti diberi karpet merah untuk bekerja di negeri ini," katanya dengan nada tinggi.
Sudah bisa ditebak, akibatnya para pekerja Indonesia disejumlah bidang diprediksi tersisihkan. Lapangan pekerjaan yang semestinya bisa menyerap tenaga kerja, bisa saja tidak terjadi.
"Tentu saja, hal ini menjadi keprihatinan tersendiri bagi kaum buruh Indonesia," tutupnya.