KRICOM - Disahkannya Undang-undang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3) dinilai sebagai sebuah kemunduran bagi proses penegakan hukum. Menurut Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia, Totok Yulianto, telah terjadi pengkhianatan terhadap mandat reformasi.
Totok memaparkan, terjadinya gerakan reformasi turut didorong oleh masalah fundamental dari rezim otoriter Orde Baru, yaitu pembungkaman publik sehingga tidak ada satu pun warga masyarakat yang boleh mengkritik Presiden, Wakil Rakyat, dan para pejabat tinggi lainnya.
Hal tersebut turut didukung oleh penerbitan undang-undang subversif seperti yang tertera di Pasal 134, 135 dan 136 KUHP tentang Penghinaaan terhadap Raja, Ratu dan Gubernur Jenderal.
"Maka dari itu, pascareformasi, seluruh ketentuan tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi," kata Toto kepada wartawan di Jakarta, Rabu (14/2/2018).
Namun sayangnya saat ini para penguasa dan anggota dewan justru kembali ingin 'bernostalgia' ke rezim yang dipimpin oleh Soeharto dengan menempatkan dirinya sebagai sosok yang superior.
"Mereka menempatkan diri sama seperti Raja dan Ratu Pemerintah Kolonial dan menjadi kontradiksi dari makna DPR yang harusnya berwatak 'wakilnya rakyat', bukan justru 'Raja (dari) rakyat'," kata Toto.
Toto melanjutkan, reformasi juga memicu adanya amandemen terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menjamin hak kebebasan berekspresi, berpendapat, bertukar informasi, berkontribusi membangun negara, dan perlakuan yang sama di mata hukum.
Aturan itu tercantum dalam Pasal 28C, Pasal 28D ayat (1), pasal 28E ayat (3), Pasal 28F UUD 1945.
"Oleh sebab itu, hal ini sama saja terjadi pelanggaran terhadap Hak Asasi," tutup Toto.