KRIMINALITAS.COM, Jakarta - Manajemen peradilan di Mahkamah Konstitusi (MK) masih amburadul dan jauh dari harapan. Salah satu indikasinya, yakni tentang lamanya waktu yang dibutuhkan dalam pengujian Undang-Undang di lembaga tinggi negara itu.
Hal itu terungkap dalam riset yang dilakukan SETARA Institute tentang Kinerja MK pada Tahun 2016-2017.
Direktur Riset SETARA Institute, Ismail Hasani menjabarkan, dari 121 putusan yang diketok MK rentang 18 Agustus 2016 hingga 16 Agustus 2017, sebanyak 38 kasus atau 31% di antaranya memakan waktu lebih dari setahun.
Sementara terdapat 18 putusan yang membutuhkan waktu 9-12 bulan dan ada 18 kasus juga yang membutuhkan waktu 6-9 bulan lamanya.
"Kemudian, 25 perkara membutuhkan waktu 3-6 bulan dan ada 22 perkara yang diputuskan hanya dalam waktu 1-2 bulan," kata Ismail di Kantor SETARA Institute, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Minggu (20/8/2017).
Dari hasil riset tersebut, Ismail menyatakan menajemen waktu berperkara di MK masih menjadi tantangan serius untuk meningkatkan kualitas putusan dan kinerja lembaga besutan Arief Hidayat itu.
Pasalnya, semakin lama suatu kasus diputuskan, maka semakin membuka celah untuk terjadinya praktek kecurangan. Hal itulah yang terjadi pada Hakim MK Patrialis Akbar yang terjaring OTT KPK karena diduga menerima suap.
"Karena menunda perkara memang hanya akan mengundang potensi abusif pada diri mahkamah, baik dari oknum hakim seperti Patrialis Akbar atau para pihak yang terlibat dalam suatu perkara," jelasnya.
Karenanya, Ismail meminta Presiden dan DPR menyusun hukum acara khusus yang mengatur tentang manajemen waktu persidangan untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan.
"Yakni untuk menghindari justice delayed, justice denied (keadilan ditunda, keadilan ditolak)" pungkas Ismail.