KRICOM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengusut kasus dugaan tindak pidana korupsi atas penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) oleh Badan Penyehatan Perbankan Negara (BPPN). Kali ini, KPK memanggil Kepala BPK Perwakilan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Arif Agus.
Juru bicara KPK, Febri Diansyah mengatakan, pemanggilan Arif guna diperiksa sebagai saksi dari tersangka dugaan suap Badan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Syafruddin Arsyad Tumenggung.
"Yang berat diperiksa KPK sebagai saksi dari tersangka SAT (Syafruddin Arsyad Tumenggung)," kata Febri Diansyah dalam pesan tertulisnya, Selasa (27/2/2018).
Sebelumnya, KPK juga sempat memeriksa mantan Direktur Bidang Hukum BPPN, Robertus Bilitea sebagai saksi dari tersangka Syafruddin Arsyad Tumenggung.
Syafruddin ditetapkan sebagai tersangka oleh lembaga antirasuah sejak 25 April 2017. Dia pertama kali diperiksa pada 5 September 2017. Syafruddin dijadikan tersangka karena dinilai menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana jabatannya yang dapat merugikan keuangan negara.
Dia juga dianggap telah menerbitkan surat keterangan lunas kepada Sjamsul Nursalim, pemegang saham Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI), yang seharusnya masih memiliki kewajiban pembayaran kepada negara.
Sampai saat ini, KPK telah memeriksa sejumlah unsur yang diduga terkait dengan SKL BLBI ini. Unsur tersebut, yakni advokat, Direktur Keuangan PT TSI, mantan Sekretaris Wakil Ketua BPPN, mantan Menteri Keuangan dan Ketua KSSK, Direktur PT Gajah Tunggal, Direktur General Affair PT Gajah Tunggal, Human Resource Operasional PT Gajah Tunggal, Staf Khusus Wapres, pengacara, Ketua BPPN, serta pihak swasta.
Sekadar informasi, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) menerbitkan SKL berdasarkan Inpers 8/2002 saat kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri yang mendapat masukan dari mantan Menteri Perekonomian Dorodjatun Kuncoro Jati, Menteri Keuangan Boediono, dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi.
Ketiga nama mantan menteri tersebut sebelumnya pun sudah dipanggil ke KPK untuk diperiksa. Namun, belum juga ada peningkatan kasus.
Dalam proses penerbitan SKL terjadi proses litigasi menjadi restrukturisasi terhadap kewajiban penyerahan aset oleh obligor sebesar Rp 4,8 triliun. Lantaran restrukturisasi tersebut, kewajiban Sjamsul Nursalim menjadi hanya Rp 1,1 triliun.
Akibat perbuatannya tersebut, SAT disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.