KRICOM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memperpanjang masa tahanan tersangka kasus pemberian Surat Keterangan Lulus (SKL) Badan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Syafruddin Arsyad Tumenggung selama 30 hari ke depan.
Juru bicara KPK, Febri Diansyah mengatakan, perpanjangan penahanan untuk Mantan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) 2002-2004 terhitung sejak 19 Februari 2018.
"Perpanjangan Penahanan hari ini (15/2/2018) dilakukan perpanjangan penahanan selama 30 hari mulai 19 Februari 2018 s/d 20 Maret 2018 untuk tersangka SAT (Syafruddin Arsyad Tumenggung)," kata Febri Diansyah di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (15/2/2018).
Sebelumnya, KPK juga telah melakukan perpanjangan terhadap Syafruddin. Perpanjangan tersebut dilakukan selama 40 hari terhitung mulai 9 Januari 2018 sampai 18 Februari 2018.
Syafruddin ditetapkan sebagai tersangka oleh lembaga antirasuah sejak 25 April 2017. Dia pertama kali diperiksa pada 5 September 2017. Syafruddin dijadikan tersangka karena dinilai menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana jabatannya yang dapat merugikan keuangan negara.
Dia juga dianggap telah menerbitkan surat keterangan lunas kepada Sjamsul Nursalim, pemegang saham Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI), yang seharusnya masih memiliki kewajiban pembayaran kepada negara.
Sampai saat ini, KPK telah memeriksa sejumlah unsur yang diduga terkait dengan SKL BLBI ini. Unsur tersebut yakni advokat, Direktur Keuangan PT TSI, Mantan Sekretaris Wakil Ketua BPPN, Mantan Menteri Keuangan dan Ketua KSSK, Direktur PT Gajah Tunggal, Direktur General Affair PT Gajah Tunggal, Human Resource Operasional PT Gajah Tunggal, Stadf Khusus Wapres, Pengacara, Ketua BPPN, serta pihak swasta.
Sekadar informasi, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) menerbitkan SKL berdasarkan Inpers 8/2002 saat kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri yang mendapat masukan dari mantan Menteri Perekonomian Dorodjatun Kuncoro Jati, Menteri Keuangan Boediono, dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi. Ketiga nama mantan menteri tersebut sebelumnya pun sudah dipanggil ke KPK untuk diperiksa. Namun, belum juga ada peningkatan kasus.
Dalam proses penerbitan SKL terjadi proses litigasi menjadi restrukturisasi terhadap kewajiban penyerahan aset oleh obligor sebesar Rp 4,8 triliun. Lantaran restrukturisasi tersebut kewajiban Sjamsul Nursalim menjdi hanya Rp 1,1 triliun.