KRICOM - Bentrokkan antara narapidana teroris dengan narapidana umum pecah di Lapas Klas IIA Permisan Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, beberapa hari silam. Salah satu penyebab kerap pecahnya bentrokan antarnapi tersebut adalah berlebihnya kapasitas lapas.
"Pertama dari segi penghuni, itu kan over capacity. Kedua dari segi aparat, itu sangat minim," kata anggota Komisi III DPR Muhammad Syafi'i kepada Kricom.id, Senin (13/11/2017).
Persoalan selanjutnya yakni perihal konsumsi kepada penghuni lapas. Pasalnya negara hanya menganggarkan Rp 12.500 kepada para penghuni untuk tiga kali makan dalam sehari.
"Ketiga dari segi konsumsi itu kan sangat terbatas ya. 12.500 untuk tiga kali makan. Kemudian dari segi pembinaan. Yang kayaknya sangat sulit untuk dilaksanakan," lanjutnya.
Dia menuturkan, dari masalah tersebut, pemerintah perlu melaksanakan tata laksana penegakan hukum yang tepat. Dengan kata lain, polisi, jaksa, dan bagian lapas perlu bersinergi dengan tepat dalam penegakan hukum.
"Kan ada perbedaan yang mencolok. Kalau polisi dan jaksa sepertinya merasa berprestasi kalau berhasil banyak menjebloskan orang ke lapas. Sementara pihak lapas dia merasa berhasil kalau dia melakukan pembebasan setelah yang bersangkutan menjalani hukuman," ujarnya.
Dia menyebut, dalam penegakan hukum, polisi dan jaksa jangan terkesan merasa senang menghukum seseorang dengan menjebloskan ke lapas. Menurut dia, ada sistem restorasi justice yang bisa diterapkan aparat penegak hukum.
"Jadi mungkin orang yang melakukan korupsi tertentu, cukup wajib mengembalikan uangnya dan dengan denda. Jadi yang bersangkutan juga kapok karena wajib kembalikan uang, dia juga kena denda, dia juga jadi perhatian keluarganya untuk tidak mengulangi lagi. Di sisi lain kan penghuni lapas juga kita bisa tekan," tuturnya.