KRICOM - Mabes Polri memastikan pengusutan kasus korupsi kondensat masih berjalan, termasuk menyerahkan berkas tahap dua barang bukti tersangka ke Kejaksaan Agung (Kejagung).
Namun, sejaih ini Kejaksaan Agung belum menerima pelimpahan barang bukti dan tersangka kondensat PT Trans Pasific Petrochemical Indotama yang merugikan negara US$ 2,7 miliar.
"Kami masih menunggu informasi pelimpahan tahap duanya," jelas Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Adi Toegarisman seperti dilansir Antara, Kamis (18/1/2018).
Dikabarkan, salah satu tersangka kasus kondensat yang merupakan Presiden Direktur PT Trans Pasific Petrochemical Indotama (TPPI), Honggo Hendratno berada di luar negeri. Selain Honggo, polisi juga telah menetapkan dua tersangka lainnya, yakni Raden Priyono selaku Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMigas), dan Djoko Harsono selaku Deputi Finansial Ekonomi dan Pemasaran BP Migas.
Meski masih berproses, Jampidsus mengharapkan ketiga tersangka itu segera dilimpahkan ke Kejagung. Ia juga yakin Bareskrim bisa menghadirkan Honggo yang saat ini berstatus buron.
"Tentunya kami terus diskusi dengan penyidik kepolisian terkait kasus ini," lanjut Adi.
Kasus ini bermula saat PT TPPI ditunjuk BP Migas untuk mengelola kondensat periode 2009 sampai 2011. Namun ketika melaksanakan lifting pertama sekitar Mei 2009, hal itu belum ada kontraknya.
"PT TPPI langsung lifting dan langsung mengolahnya," katanya.
Ia melanjutkan, BP Migas juga melakukan penunjukan langsung penjualan minyak tanah/kondensat yang melanggar Keputusan Kepala BP Migas Nomor KPTS 20/BP00000/2003-S0 tentang Pedoman Tata Kerja Penunjukan Penjualan Minyak Mentah/Kondensat Bagian Negara.
"Baru 11 bulan kemudian dilibatkan kontrak pekerjaan itu, artinya tanda tangan atau surat kontraknya diberi tanggal mundur. Kemudian baru dilanjutkan kembali sampai 2011," ujarnya.
Pengelolaan kondensat itu kemudian dijual Pertamina sebagai bahan bakar Ron 88, namun oleh PT TPPI diolah menjadi LPG melalui perusahaan miliknya Tuban LPG Indonesia (TLI).
"Kira-kira ada enam pelanggaran hukum dari kasus itu, kerugian negara hasil dari audit BPK US$ 2,716 miliar," tandasnya.