KRICOM - Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KASAU) Marsekal (Purn) Agus Supriatna akhirnya memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu (3/1/2018).
Dari pantauan Kricom di lapangan, Agus datang ke lembaga antirasuah sekitar pukul 09.30 WIB dengan menggunakan Alphard hitam.
Agus yang menggunakan kemeja biru dipadu blazer dan kacamata hitam itu tidak memberikan pernyataan apa pun kepada awak media. Dia bergegas masuk ke gedung KPK sesaat setelah turun dari mobilnya.
Kedatangan Marsekal (Purn) Agus Supriatna ke markas Agus Rahardjo tersebut diduga terkait kasus dugaan korupsi pengadaan Helikopter Agusta Westland (AW)-101.
Pasalnya, KPK sudah dua kali memanggil Marsekal (Purn) Agus Supriatna sebagai saksi terkait kasus dugaan korupsi pengadaan Helikopter Agusta Westland (AW)-101. Namun, dia tidak datang dengan alasan sedang berada di luar negeri.
Bahkan, kuasa hukum Agus Supriatna juga sempat menyampaikan surat pemberitahuan tidak hadir dan permintaan penundaan pemeriksaan dengan alasan sedang berada di luar negeri.
Padahal berdasarkan data perlintasan yang didapat KPK, sejak tanggal 8 Desember 2017, Agus sudah berada di Indonesia.
Sementara, keterangan Agus sebagai saksi sangat diperlukan agar pengadaan alat utama sistem pertahanan (alutsista) TNI AU Tahun 2016-2017 yang diduga telah merugikan negara sekitar Rp 224 miliar itu menjadi jelas.
Diketahui, dugaan korupsi pengadaan Heli AW 101 dibongkar berkat kerja sama KPK dan TNI. Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan Direktur Utama PT Diratama Jaya Mandiri, Irfan Kurnia Saleh sebagai tersangka.
Irfan diduga telah menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara dalam pengadaan helikopter angkut AW-101 di TNI AU Tahun 2016-2017.
PT Diratama Jaya Mandiri diduga telah membuat kontrak langsung dengan produsen Heli AW-101 senilai Rp 514 miliar. Namun, pada Februari 2016 setelah meneken kontrak dengan TNI AU, PT Diratama Jaya Mandiri justru menaikkan nilai jualnya menjadi Rp738 miliar.
Akibat perbuatannya diduga terjadi kerugian keuangan negara sekitar Rp 224 miliar. Irfan disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.