KRICOM - Pakar Hukum Tata Negara, Said Salahuddin menilai secara substantif tidak ada yang berubah dari revisi Pasal 73 UU Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR (MD3).
"Kalau kita periksa secara lebih teliti revisi atas Pasal 73 ini, secara substantif sebetulnya tidak ada yang berubah. Substansinya tetap sama dengan bunyi norma sebelum ayat ini direvisi. Yang baru muncul dari revisi hanyalah terkait adanya penegasan atas ketentuan yang belum jelas pengaturannya," kata Said Salahuddin dalam siaran persnya, Rabu (14/2/2018).
Pada ketentuan ayat (5), misalnya, revisi sebetulnya hanya terkait dengan prosedur atau tata cara pemanggilan paksa terhadap badan hukum dan/ atau masyarakat yang tetap tidak mau hadir ketika DPR sudah melayangkan panggilan sebanyak lebih dari tiga kali.
Sebelum revisi, tidak diatur bagaimana cara bagi DPR untuk meminta Polri memanggil paksa badan hukum dan/ atau masyarakat yang mangkir dari panggilan Dewan.
Setelah direvisi, lanjut dia, barulah diatur cara pemanggilan paksa itu, yakni DPR harus terlebih dahulu mengirimkan surat tertulis kepada Kapolri dan Kapolri diminta memerintahkan Kapolda untuk melaksanakan pemanggilan dimaksud.
"Jadi soal 'pemanggilan paksa' yang diributkan orang sekarang ini sebetulnya bukan barang baru, sebab ketentuan itu sudah ada sejak UU MD3 disahkan pada tanggal 5 Agustus 2014. Artinya ketentuan itu sudah berlaku sejak 3,5 tahun lalu," ungkapnya.
Demikian pula dengan revisi ketentuan ayat (6) soal sanksi penyanderaan bagi badan hukum dan/ atau masyarakat yang tetap tidak mau hadir ketika DPR sudah melakukan panggilan paksa.
Hal ini, kata dia, juga bukan norma baru. Sudah 3,5 tahun ketentuan itu berlaku sebagai hukum positif. Hanya bedanya, setelah direvisi, ketentuan itu berubah tempat. Sebelumnya masuk dalam ayat (5) dan pascarevisi dimasukkan ke dalam ayat (6).
Sedangkan, terkait penambahan ayat baru, yaitu ayat (7), norma itu sekadar memberi penegasan kepada Kapolri agar memasukan klausul tentang 'pemanggilan paksa' dan 'sanksi penyanderaan' itu ke dalam Peraturan Kapolri atau Perkap yang selama ini belum ada hukum acaranya di institusi Kepolisian.
"Jadi dari sisi kepastian hukum, revisi Pasal 73 UU MD3 sebetulnya bagus, sebab DPR telah memberikan kepastian kepada badan hukum dan/ atau masyarakat yang akan dipanggil paksa atau diberikan sanksi penyanderaan. Mereka jadi tahu prosedur hukumnya dan diharapkan dapat terhindar dari perlakuan sewenang-wenang DPR dan Kepolisian yang hendak memanggil paksa dan memberi sanksi penyanderaan kepada mereka," jelasnya.