KRICOM - Proses Peninjauan Kembali (PK) terhadap kasus penistaan agama yang diajukan oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mengundang reaksi keras dari berbagai pihak.
Ketua Dewan Pembina Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) memaparkan, seharusnya PK bisa diajukan apabila memenuhi tiga syarat, yaitu kekhilafan hakim, putusan yang saling bertentangan satu sama lain dalam perkara yang sama, dan adanya novum atau bukti baru.
Apabila tidak memenuhi ketiga syarat tersebut, sudah seharusnya hakim menolak PK yang diajukan Ahok.
"Putusan yang saling bertentangan itu ada batas kedaluwarsanya, yaitu 180 hari. Kita tahu putusan Ahok ini inkrah pada Juni 2017, berarti sekitar pertengahan januari 2018 udah lewat waktu 8 bulan. Sangat curiga ini sudah kedaluwarsa dan harusnya ditolak, enggak bisa dapat akta pendaftaran PK," jelas Habiburokhman saat diwawancarai di Kawasan Menteng, Rabu (28/2/2018).
Habiburokhman juga menyesalkan sikap Mahkamah Agung (MA) yang tidak transparan terhadap publik dalam memproses kasus Ahok.
"Karena pengadilan MA kita enggak setransparan MK, semua informasi ditampilkan di situs resminya, maka kami takutnya sudah kedaluwarsa terus diterima saja," sambungnya.
PK yang diajukan Ahok juga dirasa tidak berdasar lantaran tidak adanya novum (bukti baru) dan hanya menggunakan putusan terpidana Buni Yani sebagai dasar PK.
"Terus novumnya itu novum Buni Yani, Buni Yani itu belum inkrah, bagaimana kasus yg belum inkrah dijadikan rujukan dan berbeda perkara, berbeda pasal, bukan ITE kejadiannya berbeda. Menurut kami tak layak dijadikan novum. Dalam analisa hukum kami PK seperti itu ditolak," papar Ketua DPP Advokasi Partai Gerindra ini.