KRIMINALITAS.COM, Jakarta - Nama Ketua DPR Setya Novanto rupanya berperan besar dalam kemunduran hukum di Indonesia.
Namun, peran Setnov terhitung dalam setahun terakhir. Hal itu berdasarkan riset yang dilakukan SETARA Institute tentang Kinerja Mahkamah Konstitusi (MK) 2016-2017.
Direktur Riset SETARA Institute Ismail Hasani mengatakan, hal itu terkait dua gugatan judicial review yang diajukan oleh Setnov.
Diketahui, gugatan pertama Setnov yakni tentang Undang-Undang (UU) 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan UU 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor mengenai ketentuan informasi elektronik dan atau dokumen elektronik sebagai alat bukti.
MK pun mengabulkan gugatan itu dalam putusan nomor 20/PUU-XIV/2016.
"Ada tone negatif, di mana putusan MK menunjukan kemunduran HAM dan rule of law," ucap Ismail di Kantor SETARA Institute, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Minggu (20/8/2017).
Putusan yang kedua terkait Setnov adalah Putusan Nomor 21/PUU-XlV/2016 yang menguji UU 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor, yakni pada Pasal 15 yang mengatur tentang pemufakatan jahat.
Dalam permohonannya, lanjut Ismail, Setnov mendalilkan bahwa ia tidak memiliki kualitas yang disyaratkan oleh UU ?tersebut.
Lagi-lagi, MK pun mengabulkan gugatan Ketua Umum Partai Golkar itu dengan menyatakan bahwa Pemufakatan jahat adalah bila dua orang atau lebih mempunyai kualitas yang sama saling bersepakat melakukan tindak pidana".
"Dan tindak pidana ?? korupsi yang diartikan MK adalah tindakan pidana yang dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai Pasal 14," tutupnya.