KEBEBASAN mengungkapkan pikiran, ide, dan kritik adalah bagian dari demokrasi yang dijamin Undang-Undang. Semua orang, siapa saja, boleh dan berhak menyuarakan unek-uneknya untuk didengar oleh khalayak luas. Bahkan sekarang, mimbar kebebasan berpendapat itu semakin mendapatkan tempat.
Dulu, mana berani orang terang-terangan mengkritik punggawa negara. Jangankan presiden, menteri, atau petinggi negara, berani mengkritik pejabat sekelas lurah atau camat saja, seseorang mungkin tak bisa tidur nyenyak berhari-hari. Yang ada hanya was-was dan ketakutan diciduk aparat.
Namun, berkebalikan seratus delapan puluh derajat dari zaman belenggu kebebasan beberapa puluh tahun lalu itu, saat ini orang bisa leluasa bahkan sangat bebas menyuarakan apa pun isi hatinya.
Media sosial dengan berbagai platformnya memungkinkan orang berteriak sekeras-kerasnya dengan ujaran yang kadang 'nyelekit' bahkan sarkastis untuk menyerang pihak lain yang tidak sependapat dengannya. Saat ini hampir tiap hari kita disuguhi dengan beragam berita yang memerahkan kuping, ujaran-ujaran yang melampaui batas kesantunan, bahkan menyinggung hak privat seseorang.
Dan mirisnya, di segala lini kehidupan, di semua tingkatan usia telah terjadi perang kata yang sangat massif dan tidak sedikit yang menyinggung SARA. Apa lacur, kemajuan teknologi tak diimbangi dengan kearifan dan kebijakan dari individu pengguna medsos. Pertimbangan kesantunan dan tata krama seperti lenyap dan ditabrak sesuka hati. 'Bodo amat, yang penting gue puas!' Begitu mungkin pikiran yang ada di benaknya.
Sayangnya, para pelaku hate speech di media sosial tersebut tak hanya didominasi kaum tertentu. Hampir semua kalangan saling berebut ingin jadi orang yang 'menonjol' dan jadi bintang di dunia maya.
Gampang sekali kita temukan para pengamat 'jadi-jadian' dengan kadar keilmuan pas-pasan, bahkan banyak yang bermodal copy paste satu-dua berita, berani menyalahkan atau menyerang orang lain.
Yang teranyar, dua orang anak muda yang merasa sedang 'lucu-lucunya', terpeleset bawa-bawa agama untuk sekadar mengundang tawa penontonnya. Tidak belajarkah mereka ini dari kasus-kasus besar yang pernah terjadi karena tak sengaja 'nyerempet' keyakinan agama orang lain harus berakhir di kantor polisi?
Tentu semua menyayangkan, jika penduduk Indonesia yang majemuk ini harus saling hujat karena tumpulnya logika dan makin berkurangnya empati dan tenggang rasa di antara sesama. Jangan sampai tanah air tercinta ini bersedih hati karena ketidakcerdasan rakyatnya mengusung nalar yang sehat.