KRICOM - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menduga adanya politisasi hasil survei tingkat kepuasan masyarakat atas kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK). Hal ini ditegaskan oleh peneliti Lipi, Siti Zuhro. menurutnya, banyak yang abstrak dalam hasil survei tersebut.
"Ada politisasi dalam hasil nilai survei kepuasan Jokowi-JK selama ini," ujar Siti kepada wartawan disela-sela diskusi publik dengan tema 'Tiga tahun Jokowi-JK dan calon penantang Jokowi di Pilpres 2019' di Restoran Batik Kuring kawasan SCBD, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Minggu (22/10/2017).
“Kalau mengenai kepuasan publik ya harusnya dirumuskan oleh lembaga survei karena ini mengukur khusus Pak Jokowi-JK. Tidak bisa dilepaskan dari sembilan poin nawacitanya. Jadi kalau dikatakan infrastrukturnya yang bagus. Itu bagian mana dari program nawacita? Jadi harus dipetakan, apa yang sudah dicapai selama tiga tahun ini. Mengapa responden merasa puas? Jadi tidak abstrak gitu," paparnya.
Kecurigaan Siti bertambah ketika di dalam survei tidak ada jawaban dari masyarakat yang kurang beruntung terkait masalah ekonomi.
“Jadi menurut saya kalau yang ditarik pros contensesus, itu memang tidak puas terhadap kinerja Jokowi. Sebab tidak ada jawaban secara ekonomi untuk masyarakat yang kurang beruntung dalam memenuhi kebutuhan pokoknya,” imbuhnya.
Untuk itu, lanjut Siti, patut dipertanyakan apakah dalam survei pertanyaan yang diajukan sudah benar menukik pada permasalahan yang dihadapi masyarakat apa belum.
“Saya yakin tidak akan sampai 70% kalau yang ditanyakan kepada responden terkait kesetaraan. Namun kalau yang ditanyakannya itu terkait common sence, ya jawabannya hanya ‘saya puas-saya puas’ saja. Akan tetapi, puas dalam arti seperti apa kan membingungkan. Ini yang mungkin perlu ditajamkan. Isu krusialnya di mana?” paparnya.
Selain itu, perbedaan tingkat persentase kepuasan dan elektabilitas Jokowi-JK juga dinilai memiliki keanehan.
“Mengapa ketika kepuasaannya dianggap tinggi, tapi ternyata elektabilitasnya rendah, tidak sebangun. Apa yang salah ini? Apakah perspektif masyarakat yang salah atau pertanyaannya (saat survei) yang salah,” tutupnya.