KRICOM - Gerindra mengkritik keras putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak uji materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Ketua DPP Partai Gerindra, Supratman Andi Atgas menganggap, putusan MK soal Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu memperburuk citra dan menghambat perkembangan demokrasi Indonesia.
"Itu demokrasi kita makin terpuruk, karena kalau ada threshold, demokrasi kita jadi tidak berkembang," kata Supratman ditemui di Gedung DPR, Jakarta Pusat, Kamis (11/1/2018).
Dengan putusan MK, maka berlaku ambang batas 20 persen kursi DPR, sebagai prasyarat pencalonan presiden dan wakil presiden. Ambang batas yang dipakai, yakni perolehan kursi DPR pada Pemilihan Legislatif (Pileg) 2014.
Hal itulah yang menjadi sorotan Supratman. Karena putusan MK menggugurkan kesempatan bagi parpol baru, seperti PSI, dan Partai Idaman, untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden.
"Tidak memberikan kesempatan pada parpol untuk mengajukan presiden," lanjut dia.
Dengan segala kritik itu, dia tidak habis pikir, MK menolak uji materi soal ambang batas pencalonan presiden. Meski begitu, dia tetap menghormati putusan MK sebagai produk hukum yang final dan mengikat.
"Apapun itu, putusan MK kita hargai. Tapi dari sisi perkembangan demokrasi menurut saya itu suatu kemunduran," pungkasnya.
Uji materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) ditolak Mahkamah Konstitusi (MK). Adapun pasal 222 tersebut, mengatur soal ambang batas dalam pemilihan presiden.
"Menolak permohonan pemohon untuk selain dan selebihnya," kata Ketua MK, Arief Hidayat saat membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta, Selasa (11/1/2018) ini.
Dengan ditolaknya uji materi soal ambang batas, otomatis partai politik wajib memiliki kursi 20 persen di DPR, guna mengusung tokoh sebagai calon presiden dan wakil presiden.