SEBAGAI satu dari sekian ratus juta rakyat negeri Indonesia tercinta ini, tentu saya sami'na wa atho'na (kami dengar dan kami taat) dengan anjuran pemerintah untuk membuat e-KTP yang semua tahu bahwa fungsinya adalah sebagai identitas jati diri yang sah.
Konon katanya, e-KTP itu bakal berlaku nasional sehingga tidak perlu lagi membuat KTP lokal untuk pengurusan izin, pembukaan rekening bank, bahkan tak perlu lagi diperpanjang, alias dibawa sampai mati. Dengan e-KTP itu -masih katanya juga- akan mencegah adanya KTP ganda dan pemalsuan KTP. Dan yang paling penting adalah terciptanya keakuratan data penduduk untuk mendukung program pembangunan.
Sungguh program yang sangat bagus sebenarnya. Apalagi, program penerapan KTP berbasis NIK (Nomor Induk Kependudukan) ini telah sesuai dengan Pasal 6 Perpres No 26 Tahun 2009 tentang Penerapan KTP berbasis Nomor Induk Kependudukan secara Nasional Jo Perpres No 35 Tahun 2010 tentang perubahan atas Perpres No. 26 Tahun 2009.
Tapi apa mau dikata, program nasional demi kemaslahatan umat itu harus mandek dan terbengkelai karena kasus dugaan korupsi pengadaannya yang melibatkan banyak pihak, baik dari swasta, birokrat, bahkan anggota dewan yang terhormat. Tak tanggung-tanggung, uang negara sebesar Rp 2,3 triliun diduga telah dibagi-bagi berdasar asas keadilan yang 'sama rata sama rasa'.
Bahkan 'drama' yang cukup menggelitik -kalau tak boleh disebut absurd- baru saja usai dipentaskan. Seorang petinggi dewan yang terhormat terkulai lemah di rumah sakit di saat yang bersangkutan menunggu keputusan sidang praperadilan yang diajukannya karena tak terima dijadikan tersangka dalam kasus e-KTP.
Sontak, ratusan bahkan ribuan 'meme kocak' yang mengundang senyum simpul langsung berseliweran di media sosial menyindir peristiwa yang menurut kalangan netizen begitu menggelikan.
Ajaibnya lagi, setelah hakim tunggal praperadilan dalam kasus ini 'sukses' menjungkirbalikkan nalar dengan keputusannya yang menganulir status tersangka pada sang pimpinan dewan, selang dua hari kemudian, tim dokter yang menangani 'pasien terhormat' mengumumkan bahwa Pak Ketua sudah sehat dan boleh pulang.
Berita menggembirakan itu pun langsung saya tindaklanjuti. Saya bergegas ke kantor Dukcapil untuk mengambil KTP elektronik yang sudah saya ajukan enam bulan lalu. Saya sangat yakin kalau e-KTP saya juga sudah jadi seiring dengan sembuhnya Pak Ketua.
Setelah mengantri sekitar setengah jam, nomor urut saya pun dipanggil. Dengan harap-harap cemas, saya duduk manis di hadapan petugas Dukcapil, seorang wanita paruh baya yang lumayan sedap dipandang mata.
"Gimana, Bu, sudah jadi kan e-KTP saya?"
"Anda sudah dapat SMS pemberitahuan kalau e-KTP-nya sudah jadi?" tanyanya.
"Belum, Bu. Tapi ini kan sudah enam bulan yang lalu saya ajukan?"
"Jadi begini, kalau Anda belum terima SMS, berarti e-KTP Anda memang belum jadi. Sekarang saya buatkan perpanjangan surat keterangan (Suket) untuk enam bulan ke depan, ya," jawabnya datar.
Saya diam, mengangguk masygul. "Lalu, kapan saya akan dapat SMS itu, Bu?"
Kini giliran ibu petugas kantor Dukcapil itu yang diam. Sedetik kemudian, dia tersenyum manis sekali seraya mengangkat alis dan bahunya sedikit sebagai jawaban. Lalu, sambil menyerahkan Suket perpanjangan, dia berkata, "Sing sabar yo, Pak."
"Oh, oke, Bu. Saya sabar kok, istiqomah pula. Terima kasih," timpalku. Dalam hati saya berkata, "Itu juga bukan salah Ibu kok. Sebagai 'jelata', kita memang harus sama-sama bersabar." #kamirapopo