KONTAK SEKSUAL yang terjadiantara orang dewasa dengan anak-anak (<18 tahun), ternyata mempunyai sebutan yang berbeda-beda. Disebut pedofilia jika korbannya adalah anak-anak usia pra-pubertas.
Untuk kontak seksual dengan anak-anak usia pubertasdisebut hebefilia, sementara istilah efebofilia digunakan untuk kontak seksual dengan anak-anak pasca-pubertas.
Yang pasti, ketiga jenis kontak seksual dengan anak-anak tersebut memiliki konsekuensi hukum sama, yakni pidana bagi pelaku. Namun untuk kepentingan rehabilitasi, implikasinya bisa berlainan.
Pada hebefilia, misalnya, korban yang berusia pubertas sedikit banyak sudah punya minat seksual. Jadi, perlu dicek apakah anak melakukan perlibatan aktif dalam interaksi seksual tersebut. Jika iya, maka sesungguhnya bukan hanya si predator, korban juga perlu direhabilitasi agar mampu mengendalikan dorongan seksual khas usia pubernya.
Ini makin relevan pada kasus efebofilia, di mana individu yang menjadi korban adalah anak-anak (berdasarkan UU Perlindungan Anak), tapi pada saat yang sama sudah memasuki usia boleh nikah (berdasarkan UU Perkawinan).
Tiga pembedaan di atas juga menjadi dasar untuk memastikan apa yang sesungguhnya dilakukan si pemangsa: perundungan, pelecehan seksual, ataukah rayuan (grooming).
Apa pun itu, sekali lagi, orang dewasa yang menjadi pelaku tetap harus dihukum pidana. Perlu juga diwaspadai eskalasi perilaku, misalnya hanya 'sebatas' sexting, yaitu saling bertukar pesan singkat yang sifatnya erotis, seksual, dan intim lewat ponsel. Sexting juga kadang dibumbui dengan saling mengirimkan foto sensual atau foto bugil.
Perilaku setelah sexting tersebut bisa saja naik kelas menjadi sentuhan dan seterusnya hingga aksi pemangsaan berupa -maaf- persenggamaan.
Lalu, apa yang harus dilakukan pihak sekolah untuk mengantisipasi terjadinya kejahatan seksual yang dilakukan orang dewasa terhadap anak-anak? Salah satunya, sekolah perlu mengadakan orientasi bagi siswa baru serta sosialisasi berkala bagi siswa lama. Materinya adalah tentang UU Perlindungan Anak dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak.
Anak kudu dibikin melek hukum, mampu mengidentifikasi faktor risiko, mengenal sistem pengaduan dan ketentuan sanksi, serta pemahaman akan ajaran agama dan moral.
(Reza Indragiri Amriel)