KRICOM - Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus menilai langkah Presiden Joko Widodo menunda pembentukan Densus Tipikor sebagai langkah tepat, rasional dan bertanggungjawab.
Pasalnya Indonesia sudah memiliki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebuah lembaga penegak hukum untuk memberantas perkara korupsi sesuai dengan UU Nomor 30 Tahun 2002.
Bahkan alasan dibentuknya KPK saat itu pun guna memenuhi Pasal 43 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal tersebut dikarenakan kepolisian dan kejaksaan dianggap tidak mampu memberantas korupsi.
"Bahkan perbuatan korupsi telah dijadikan metode oleh aparat Penegak Hukum dalam penanganan kasus-kasus korupsi, sehingga memerlukan penanganan secara khusus oleh sebuah Lembaga yang pembentukannya harus dengan UU yaitu KPK," kata Petrus melalui keterangan tertulisnya kepada Kricom.id, Rabu (25/10/2017).
Karenanya, sambung Petrus, lembaga apapun yang hendak dibentuk sepanjang berfungsi untuk melakukan pemberantasan korupsi maka pembentukannya harus dengan Undang-Undang.
Kemudian harus melalui proses legislasi dan didukung dengan kajian-kajian dari aspek sosiologis, filosofis, yuridis dan dilengkapi dengan naskah akademis sesuai dengan ketentuan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
"Karena itu pembentukan Densus Tipikor tidak bisa hanya dibicarakan atau dibahas secara sumir antara pimpinan Polri, Kejaksaan, BPK dan DPR, tetapi harus komprehensif dan dukungan publik," tegas Petrus.
Ketimbang bernafsu membentuk Densus Tipikor, seharusnya Polri berbenah diri dengan melahirkan aparat yang mampu mengemban visi dan misi untuk kelak mengambil alih tugas-tugas KPK.
"Untuk menyiapkan aparat polri yang hebat secara mental dan ideologi pada 30 tahun ke depan, agar negara betul-betul memiliki aparat penegak hukum yang anti KKN dan secara bertahap membersihkan kultur yang korup di internal Polri," pungkasnya.