KRICOM -Komika Ge Pamungkas dan Joshua Suherman sedang menjadi sorotan publik. Pasalnya, materi candaan kedua komika ini dianggap telah melakukan penistaan agama di stand up comedy, beberapa hari lalu.
Namun, pandangan publik ini sangat ditentang oleh akademisi Universitas Indonesia, Aristo Pangaribuan. Ketua LBH UI ini juga mengatakan unsur Pasal 156 KUHP tak terpenuhi.
Menurutnya, hal yang penting harus diperhatikan, penistaan agama dianggap terpenuhi apabila ada substansi ajaran agama yang dijelekkan maupun dikomentari salah.
"Maksud Pasal 156 KUHP itu penistaan agama, yang dinodain itu substansi ajaran agama tertentu. Dia mengomentari perihal materi ajaran agama tersebut," ungkap Aristo saat dihubungi, Selasa (9/1/2018).
Bahkan, menurutnya, candaan Joshua Suherman itu lebih mengarah tentang pelanggaran UU Diskriminasi. Negara Indonesia telah mengatur hal tersebut dalam perundang-undangan.
"Apa yang diucapkan Joshua itu lebih pada diskriminasi, kita punya UU. Yang dia lakukan adalah menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis," ujarnya.
Aristo pun membandingkan kasus kedua komika itu dengan kasus yang dilakukan Lia Eden dan Ahok. Hal itu adalah cerminan penempatan unsur dalam pelanggaran penistaan agama.
"Lebih dilihat niatnya, kita lihat contoh misalnya Lia Eden. Dia itu menodai agama Islam karena menafsirkan agama Islam berbeda dengan ajaran agama sebenarnya. Yang dikomentarinya adalah substansi ajaran agamanya. Sedangkan Ahok kenapa dihukum soal penistaan agama? Karena Ahok mengomentari surat Al-Maidah itu," imbuhnya.
Polemik Ge Pamungkas dan Joshua Suherman harusnya disanksi dengan sanksi sosial, seperti teguran atau permintaan maaf kepada publik. Nah, Aristo pun menegaskan jangan kerap menjadikan hukum pidana sebagai senjata utama.
"Harus kita garis bawahi bahwa tak semuanya diarahkan ke hukum pidana. Janganlah semua perbuatan harus diselesaikan dengan penjara. Mereka harus ditegur, bahwa dia salah, itu memang betul. Jadi, ingat prinsip dasar bahwa hukum pidana itu senjata terakhir dan obat terakhir untuk membuat orang jera atas perbuatannya. Masih ada sanksi-sanksi lainnya, misal sanksi sosial," tutupnya.