KRICOM - Nelayan tradisional menjerit dengan adanya proyek reklamasi Teluk Jakarta yang saat ini sedang digenjot pemerintah. Sebab, zona reklamasi dianggap telah mengambil lahan basah nelayan dalam mencari penghasilan.
Ketua DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia, Martin Hadiwinata menjelaskan, zona reklamasi sebelumnya merupakan hutan mangrove yang menjadi tempat para nelayan menangkap ikan.
Namun, hutan mangrove telah berkurang pasca proyek reklamasi yang mengakibatkan hilangnya aktivitas nelayan di Teluk Jakarta.
"Wilayah reklamasi sebelumnya jadi tambak nelayan. Itu wilayahnya nelayan," kata Martin di Gedung DPR, Jakarta Pusat, Kamis (2/11/2017).
Dia menuturkan, imbas dari reklamasi, satu orang nelayan kehilangan penghasilan puluhan juta pertahun akibat gagal melaut. Dari situ, terbukti jika proyek reklamasi patut ditolak.
"Reklamasi menunjukkan kerugian ekonomi," lanjutnya.
Ia menyadari bahwa reklamasi menjadi proyek turunan sejak zaman Presiden Soeharto. Hal tersebut terbukti dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 52 Tahun 1995 yang diterbitkan masa Orde Baru.
Namun, jika pemerintahan saat ini ngotot melanjutka reklamasi, hal tersebut dianggapnya sebagai kesalahan yang sangat fatal.
"Melanjutkan reklamasi berarti melanggengkan neo orde baru. Wilayah reklamasi yakni wilayahnya nelayan, termasuk disitu wilayah mangrove. Direklamasi sama saja merampas wilayah laut," ungkapnya.
"Seharusnya jika kita berpihak pada nelayan dan lingkungan hidup, yang perlu dipikirkan yakni soal penyelamatan lingkungan hidup," pungkasnya.