KRICOM - Pengamat Politik Boni Hargens menyebut disahkannya Perppu No 2 Tahun 2017 tentang Ormas menjadi Undang-Undang (UU) akan membawa sejumlah implikasi politik yang tidak mudah bagi pemerintahan Jokowi-JK.
Hal itu mulai dari internal friksi di internal parlemen hingga di level masyarakat yang menentang keberadaan UU tersebut.
Boni mengatakan, di level internal parlemen akan muncul perdebatan panjang terkait pasal dan ayat yang hendak direvisi dalam UU tersebut. Dia menyebut proses itu akan alot lantaran akan bercampur dengan kepentingan politik Pemilu Legislatif dan Pilpres 2019.
"Kubu yang mengambil sikap menolak Perppu Ormas menjadi UU akan terus memainkan isu ini sebagai modal politik untuk melawan partai pendukung Perppu dan dalam mendelegitimasi pemerintahan Presiden Jokowi," kata Boni melalui keterangan tertulisnya, Kamis (26/10/2017).
Sementara itu, di level masyarakat akan ada dua kubu yang akan bereaksi keras, yaitu kubu ideologis keagamaan yang tergabung dalam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) atau kelompok lain yang mirip secara ideologis, serta kubu liberal yang menekankan kebebasan sebagai prinsip pokok demokrasi.
"Kubu yang kedua ini, (kubu liberal) akan terus mengkritisi pemerintah dengan alasan bahwa Perppu atau UU Ormas adalah bentuk pembatasan hak demokrasi warga negara," papar Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) tersebut.
Menurut Boni, meski dua kelompok ini memiliki tujuan yang sama, yaitu menolak UU Ormas, namun mereka berdiri pada posisi epistemologis yang berbeda.
"Akan tetapi, kedua kelompok ini berpotensi menjadi kekuatan politik yang melemahkan citra pemerintahan Presiden Jokowi dan partai-partai pendukungnya," ungkap Boni.
Pasalnya, Boni menilai ada kesamaan diksi yang dibangun oleh kedua kubu ini, yaitu menuduh Jokowi sebagai diktator dan lebih tepatnya pelanggar HAM.
Menurutnya, kerumitan politik akan terus bertambah seiring dengan memanasnya suhu pertarungan politik menuju 2019 yang dimulai dengan pilkada serentak 2018.
"Partai-partai penentang pemerintah akan memanfaatkan isu UU Ormas sebagai momentum untuk mencap pemerintahan Jokowi sebagai anti-Islam," ucap Boni.
Dalam pilkada serentak 2018, terutama di daerah yang berbasis pemilih terbesar seperti Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah, isu anti-Islam akan dimainkan sebagai senjata melawan partai-partai propemerintah.
"Karena target mereka ganda, yakni memenangkan pilkada 2018 dan pilpres 2019," kata Boni.
Dia menyebut kemenangan Anies-Sandi di Pilkada Jakarta 2017 adalah preseden yang membangkitkan semangat kelompok radikal untuk terus memainkan isu SARA sebagai modal politik melawan Jokowi di pilpres 2019.
"Karena sasarannya adalah pemilu dan pilpres 2019, maka bisa dipastikan bahwa gerakan kelompok anti-Perppu Ormas sejalan dengan gerakan politik kelompok oposisi yang hari ini begitu antusias ingin menumbangkan Jokowi," imbuhnya.
Boni menduga riak-riak politik yang ada sekarang dan yang akan terus mencuat sampai 2019 adalah skenario yang terencana dan dibangun secara sistematis oleh kubu politik tertentu.
"Ini tentu proses politik yang irasional. Namun, untuk kepentingan publik, seluruh proses politik yang irasional itu tidak terasa saat ini karena pemerintah masih fokus pada penyelesaian program kerja pemerintahan dan tidak merespons secara agresif setiap bentuk manuver politik lawan," jelasnya.
"Akan tetapi, secara sosial, proses ini berbahaya untuk jangka panjang karena kalau masyarakat tidak menyadari manuver-manuver politik yang memakai isu SARA maka fenomena Pilkada Jakarta 2017 bisa terulang," tandasnya.