KRICOM - Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII), Muzakir mengkritik langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menetapkan Fredrich Yunadi sebagai tersangka atas dugaan menghalangi proses penyidikan korupsi e-KTP.
Menurut Muzakir, dugaan kasus yang membelit Fredrich, seharusnya disikapi bijak KPK. Sebelum mempidanakan, seharusnya Fredrich lebih dahulu melalui proses hukum profesi.
"Ini kan orang dalam rangka menjalani profesi, kalau orang menjalani profesi itu harus tunduk pertama pada hukum profesi penyelesaiannya," kata Muzakir kepada Kricom, Minggu (14/1/2018).
Adapun, sangkaan kepada Fredrich, yakni merintangi penyidikan, ketika dirinya bertugas sebagai pengacara Setya Novanto (Setnov). Menurut Muzakir, ketika pengacara disidang etik, maka akan diketahui unsur pidana yang dilakukan.
"Kalau pengacara apakah melanggar kode etik atau tidak. Kalau melanggar kode etik diputuskan oleh organisasi dan ternyata dia melanggar kode etik, maka dia mal kode etik. Kalau mal kode etik ada kemungkinan pidana ada kemungkinan tidak," lanjutnya.
Jika seseorang pengacara sudah dikenai pidana, tanpa melalui proses etik, maka terjadi lompatan proses penegakan hukum. Dalam kasus Fredrich, KPK sudah melakukan proses lompatan penegakkan hukum.
"Kalau menurut saya tidak tepat, karena dia sedang menjalani profesi," ujar dia.
Menurut dia, sudah ada aturan, jika pengacara wajib melalui proses etik sebelum dipidanakan. Begitupun profesi lain seperti kedokteran. KPK tidak bisa melompati proses dengan mempidanakan seorang dokter.
Karena dokter memiliki lembaga Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Dokter akan melalui proses sidang etik, guna menelusuri dugaan pelanggaran bermuatan pidana.
"Demikian juga dengan dokter. dokter sama, kalau dia misalnya sedang menjalani profesi maka dia tidak bisa dilompat pidana. Organisasi profesi dulu," pungkasnya.