KRICOM - 'Ringannya' vonis hakim dan tidak adanya pengajuan banding oleh JPU atas hukuman kepada empat terdakwa pemilik sabu menjadi sorotan pakar hukum pidana. Salah satunya dugaan atas adanya jual beli hukuman di dua lembaga peradilan negara di Kota Depok.
Hal itu diungkapkan Pakar Hukum Pidana, Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Jakarta, Jamhari Hamjah.
Kata dia, penjatuhan hukuman terhadap para terdakwa tersebut dinilai sangat ringan dan tidak sesuai dengan ulah atau perbuatan yang dilakukan. Di mana para terdakwa telah mendirikan pabrik untuk memproduksi narkotika golongan I bukan tanaman.
“Seharusnya hukuman lebih berat, minimal 20 tahun maksimal hukuman mati atau seumur hidup. Luar biasa memang vonis hakim ini mengindahkan perbuatan para terdakwa,” katanya kepada sejumlah wartawan, saat dikonfirmasi, Kamis (16/11/2017).
Menurutnya, ada transaksi melibatkan oknum di dua lembaga tersebut atas penjatuhan vonis tersebut. Hal itu terlihat dari pasal yang dikenakan terhadap para terdakwa.
“Perbandingannya dilihat dari sidang kasus yang sama, yang memiliki 4 gram ganja atau 0,20 gram sabu dihukum 15 tahun penjara. Nah ini yang pemilik pabrik malah ringan sekali, padahal peran mereka ini sangat vital dalam menyebarluaskan narkoba golongan satu. Jadi memang terlihat adanya dugaan jual beli hukuman disana,” jelasnya.
Dengan munculnya persoalan tersebut, Jamhari berharap Mahkamah Agung (MA) dan Kejaksaan Agung (Kejagung) dapat menyelidiki pemberian vonis ringan yang diberikan oleh Hakim dan JPU di Kota Depok.
Sebab, jika ini dibiarkan maka penegakkan hukum yang berkeadilan dan membuat efek jera kepada pengedar dan bandar narkoba tidak akan terwujud. Sehingga wacana Presidan Joko Widodo untuk memberantas narkoba di tanah air pun akan sia-sia.
“Para terdakwa ini akan semakin ganas setelah keluar dari lapas. Atau juga mungkin di dalam lapas mereka dapat mengendalikan peredaran narkoba. Artinya di sini secara tidak langsung ada pemberian kebebasan melegalkan peredaran narkotika di tanah air,” pungkasnya.