KRICOM - Koordinator Program Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia, Julius Ibrani menyebut, KPK memiliki kewajiban menunggu proses etik sebelum menetapkan seorang pengacara sebagai tersangka.
Pasalnya, kata dia, KPK dengan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) tidak memiliki nota kesepahaman apapun. Oleh karenanya, KPK wajib berkoordinasi ke Peradi jika ada anggotanya tersangkut perkara.
"KPK tidak memiliki MoU dengan Peradi. Kami bahkan dapat kabar, ketika memproses FY, KPK memberikan surat tembusan ke Peradi," ungkap Julius ditemui di Jakarta Selatan, Minggu (14/1/2018).
Tanpa adanya nota kesepahaman, kata dia, Peradi tidak bisa meminta penundaan pemeriksaan kepada Fredrich atas sangkaan merintangi penyidikan. Proses penyidikan kasus, bisa saja berjalan beriringan dengan proses etik di Peradi.
"Organisasi Peradi tidak berhak meminta penundaan apapun. Karena tidak ada kesepahaman antara keduanya untuk menunda proses," jelas dia.
Senada dengan Julius, Peneliti Bidang Hukum dan Monitoring Peradilan, Indonesia Corruption Watch (ICW), Lalola Ester menyebut, KPK tidak memiliki alasan menunda proses penyidikan.
Hal itu berbeda ketika KPK mengusut dugaan pidana anggota kepolisian. Pasalnya, antara KPK dan kepolisian memiliki kesepahaman guna mendahulukan proses etik di internal korps Bhayangkara.
"Sayangnya KPK tidak punya MoU itu dengan Peradi. Sehingga sulit membuat Peradi meminta menunda hukum ke FY," ucapnya.