KRICOM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggiring Ketua DPR Setya Novanto dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) ke rumah tahanan. Bukan tanpa alasan KPK gerak cepat, pasalnya pernah muncul dugaan Setnov telah mengelabui KPK dengan alasan terbaring di rumah sakit.
Dugaan tersebut yakni saat Setnov terbaring lemah di rumah sakit Pondok Indah dengan alasan penyakit jantung. Kala itu Setnov telah dipanggil KPK untuk bersaksi terkait kasus korupsi e-KTP sekaligus tengah mengajukan gugatan praperadilan atas kasus yang sama.
Namun begitu hasil praperadilan memenangkan pihaknya, tiga hari kemudian Setnov langsung sehat walafiat dan bekerja seperti biasa. Tak ayal, muncul kecurigaan bahwa Setnov tengah menjalankan modus malingering alias pura-pura sakit yang dilakukan seseorang untuk menghindari proses hukum.
Belajar dari dugaan malingering yang dilakukan Setnov, KPK pun langsung memindahkan Setnov dari Rumah Sakit Medika Permata Hijau ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo usai yang bersangkutan mengalami kecelakaan tunggal di bilangan Permata Berlian, Permata Hijau, Jakarta Selatan, Kamis (16/11/2017).
Sempat dikabarkan Setnov mendapatkan luka benjol sebesar 'bakpao' dan harus menjalani rawat inap, namun fakta lain diungkap Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang menilai keadaan Setnov cukup baik dan mampu menjalani proses penahanan. Walhasil, KPK langsung mengirimnya ke Rutan KPK setelah sebelumnya diperiksa sebagai tersangka.
Namun, malingering atau modus pura-pura sakit bukan tidak mungkin bisa terulang lagi.
"Pola malingering yang terus bereskalasi bisa saja si pesakitan demonstrasikan kembali setelah ia dijebloskan ke balik teralis besi. Tujuan pokoknya adalah menghindari proses hukum," kata Pakar Psikologi Forensik Reza melalui keterangan tertulisnya yang diterima Kricom.id, Senin (20/11/2017).
Bahkan, menurut Reza, terkuaknya modus malingering yang dilakukan oleh seseorang dapat memicu bagi si pelaku mencapai titik ekstrim dalam melakukan aksinya. "Persoalannya bukan lagi sebatas 'Sakit atau sakitnya tersangka, melainkan mati atau matinya tersangka," terang Reza.
Karena itu, Reza meminta pengamanan superketat diberlakukan di dalam ruang tahanan. Hal itu untuk mempersempit kemungkinan adanya drama lanjutan yang dilakukan malingerer. "CCTV yang menyala 24 jam, ruang sel yang steril dari benda-benda yang bisa dipakai untuk bunuh diri, serta kontak antarmanusia seminim mungkin patut diupayakan," pinta Reza.
Lebih lanjut Reza mengimbau kepada para pelaku malingering untuk segera 'bertaubat' dari segala dramaturgi yang dilakukannya di hadapan penegak hukum. "Karena jika akrobat bunuh diri-nya kebablasan, sehingga nyawanya malah betul-betul lepas dari badan, akan ada satu pihak yang akan sangat kehilangan yaitu tiang listrik," tutup Reza.