KRICOM - Terdakwa kasus korupsi proyek E-KTP, Setya Novanto diduga memiliki maksud terselubung di balik rencananya mengajukan diri menjadi Justice Collabolator. Salah satunya terkait soal ancaman hukuman yang diterimanya.
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Indonesia, Choudry Sitompul menyebut, dengan menjadi Justice Collabolator, Setnov bisa mendapatkan pengurangan hukuman.
"Tuntutannya bisa lebih ringan. Selain itu bisa mempermudah kasus orang lain," kata Choudry kepada Kricom di Jakarta, Jumat (12/1/2018).
Menurut Choudry, salah satu peraturan di Mahkamah Agung memang menyebut adanya pengurangan hukuman bagi pelaku yang ingin membongkar perkaranya sendiri.
"Kalau menurut Peraturan Mahkamah Agung, kalau ada orang mau jadi JC, tuntutan harus dikurangi dan hakim mesti mengurangi hukuman," paparnya.
Terkait kemungkinan diberikannya JC kepada Setnov, Choudry yakin KPK tak akan menyia-nyiakan kesempatan itu.
"Buat KPK kan menguntungkan karena akan ada informasi baru. Kan dia mewakili masyarakat yang ingin tahu siapa pelakunya," ujarnya.
Seperti diberitakan, Setnov mengajukan diri menjadi justice collaborator (JC) di KPK. Kuasa hukum Setnov, Firman Wijaya mengakui rencana pengajuan justice collaborator oleh kliennya tersebut.
Menurutnya, alasan utama pengajuan JC adalah untuk membantu penegakan hukum supaya 'clear'. Namun demikian, dia menyatakan 'prinsip protection of cooperating person' harus jelas lebih dahulu bisa dipenuhi oleh KPK atau tidak. Sebab, menjadi JC memiliki risiko dan konsekuensi besar.
Menurutnya, kasus e-KTP bukan cuma menyangkut Setnov, melainkan menyangkut banyak pihak. Karenanya, salah satu alasan pengajuan JC adalah untuk memotret kasus e-KTP secara utuh dan mengungkap seluruhnya.